Kamis, 15 Desember 2011

SEJARAH PEMBENTUKAN MUSHAF AL-QUR'AN MENURUT AHLI SEJARAH NON-MUSLIM

(dikutip dari SEJARAH HIDUP MUHAMMAD
PENDAPAT MUIR
 
Sebenarnya apa yang diterangkan kaum  Orientalis  dalam  hal
ini cukup banyak. Tapi coba kita ambil apa yang ditulis oleh
Sir William Muir dalam The Life of  Mohammad  supaya  mereka
yang  sangat  berlebih-lebihan  dalam  memandang sejarah dan
dalam memandang diri mereka yang  biasanya  menerima  begitu
saja   apa   yang  dikatakan  orang  tentang  pemalsuan  dan
perubahan Qur'an itu, dapat  melihat  sendiri.  Muir  adalah
seorang  penganut Kristen yang teguh dan yang juga berdakwah
untuk itu. Diapun ingin sekali tidak akan membiarkan  setiap
kesempatan  melakukan  kritik  terhadap Nabi dan Qur'an, dan
berusaha memperkuat kritiknya.
 
Ketika bicara tentang  Qur'an  dan  akurasinya  yang  sampai
kepada kita, Sir William Muir menyebutkan:
 
"Wahyu  Ilahi itu adalah dasar rukun Islam. Membaca beberapa
ayat merupakan bagian pokok dari sembahyang sehari-hari yang
bersifat  umum  atau  khusus. Melakukan pembacaan ini adalah
wajib dan sunah, yang dalam arti agama adalah perbuatan baik
yang  akan  mendapat  pahala  bagi yang melakukannya. Inilah
sunah pertama yang sudah merupakan konsensus. Dan  itu  pula
yang  telah  diberitakan  oleh  wahyu.  Oleh karena itu yang
hafal Qur'an di kalangan Muslimin yang mula-mula itu  banyak
sekali, kalau bukan semuanya. Sampai-sampai di antara mereka
pada awal masa kekuasaan Islam itu ada  yang  dapat  membaca
sampai  pada  ciri-cirinya  yang  khas.  Tradisi  Arab telah
membantu pula mempermudah pekerjaan  ini.  Kecintaan  mereka
luar  biasa  besarnya. Oleh karena untuk memburu segala yang
datang  dari  para  penyairnya  tidak  mudah  dicapai,  maka
seperti  dalam  mencatat  segala  sesuatu  yang  berhubungan
dengan nasab keturunan  dan  kabilah-kabilah  mereka,  sudah
biasa  pula  mereka  mencatat sajak-sajak itu dalam lembaran
hati mereka sendiri. Oleh karena  itu  daya  ingat  (memori)
mereka  tumbuh  dengan  subur. Kemudian pada masa itu mereka
menerima Qur'an dengan persiapan dan dengan jiwa yang hidup.
Begitu  kuatnya  daya  ingat  sahabat-sahabat Nabi, disertai
pula  dengan  kemauan  yang  luar  biasa  hendak  nnenghafal
Qur'an,  sehingga  mereka,  bersama-sama  dengan  Nabi dapat
mengulang kembali dengan ketelitian yang  meyakinkan  sekali
segala  yang  diketahui  dari  pada  Nabi  sampai pada waktu
mereka membacanya itu."
 
"Sungguhpun dengan tenaga yang sudah menjadi ciri khas  daya
ingatnya   itu,  kita  juga  bebas  untuk  tidak  melepaskan
kepercayaan kita  bahwa  kumpulan  itu  adalah  satu-satunya
sumber. Tetapi ada alasan kita yang akan membuat kita yakin,
bahwa sahabat-sahabat Nabi  menulis  beberapa  macam  naskah
selama  masa  hidupnya  dari  berbagai  macam  bagian  dalam
Qur'an. Dengan naskah-naskah inilah hampir seluruhnya Qur'an
itu  ditulis.  Pada  umumnya  tulis-menulis  di  Mekah sudah
dikenal orang jauh sebelum masa  kerasulan  Muhammad.  Tidak
hanya  seorang  saja yang diminta oleh Nabi untuk menuliskan
kitab-kitab dan surat-surat itu. Tawanan  perang  Badr  yang
dapat mengajarkan tulis-menulis di Mekah sudah dikenal orang
jauh sebelum masa kerasulan Muhammad.  Tidak  hanya  seorang
saja yang diminta oleh Nabi untuk menuliskan kitab-kitab dan
surat-surat itu. Tawanan perang Badr yang dapat  mengajarkan
tulis-menulis   kepada   kaum  Anshar  di  Medinah,  sebagai
imbalannya  mereka  dibebaskan.  Meskipun  penduduk  Medinah
dalam pendidikan tidak sepandai penduduk Mekah, namun banyak
juga  di  antara  mereka  yang  pandai  tulis-menulis  sejak
sebelum  Islam.  Dengan adanya kepandaian menulis ini, mudah
saja kita mengambil kesimpulan tanpa salah, bahwa  ayat-ayat
yang  dihafal  menurut  ingatan  yang sangat teliti itu, itu
juga yang dituliskan dengan ketelitian yang sama pula."
 
"Kemudian kitapun mengetahui, bahwa Muhammad telah  mengutus
seorang sahabat atau lebih kepada kabilah-kabilah yang sudah
menganut Islam,  supaya  mengajarkan  Qur'an  dan  mendalami
agama.  Sering  pula  kita  membaca, bahwa ada utusan-utusan
yang    pergi    membawa    perintah    tertulis    mengenai
masalah-masalah  agama  itu.  Sudah tentu mereka membawa apa
yang  diturunkan  oleh  wahyu,  khususnya  yang  berhubungan
dengan  upacara-upacara  dan peraturan-peraturan Islam serta
apa yang harus dibaca selama melakukan ibadat."
 
PENULISAN QUR'AN PADA ZAMAN NABI
 
"Qur'an  sendiripun  menentukan  adanya  itu  dalam   bentuk
tulisan.  Begitu  juga  buku-buku  sejarah  sudah menentukan
demikian, ketika menerangkan tentang Islamnya Umar,  tentang
adanya   sebuah   naskah  Surat  ke-20  [Surah  Taha]  milik
saudaranya yang perempuan dan keluarganya. Umar masuk  Islam
tiga  atau  empat  tahun  sebelum  Hijrah.  Kalau  pada masa
permulaan Islam wahyu itu ditulis dan saling  dipertukarkan,
tatkala  jumlah  kaum  Muslimin  masih sedikit dan mengalami
pelbagai macam siksaan, maka sudah dapat dipastikan  sekali,
bahwa  naskah-naskah tertulis itu sudah banyak jumlahnya dan
sudah banyak pula beredar, ketika Nabi sudah mencapai puncak
kekuasaannya  dan  kitab  itu  sudah  menjadi  undang-undang
seluruh bangsa Arab."
 
BILA BERSELISIH KEMBALI KEPADA NABI
 
"Demikian halnya Qur'an itu semasa hidup Nabi, dan  demikian
juga  halnya  kemudian  sesudah  Nabi wafat; tetap tercantum
dalam kalbu kaum  mukmin.  Berbagai  macam  bagiannya  sudah
tercatat  belaka  dalam  naskah-naskah yang makin hari makin
bertambah jumlahnya itu. Kedua sumber itu  sudah  seharusnya
benar-benar  cocok.  Pada  waktu itu pun Qur'an sudah sangat
dilindungi sekali, meskipun  pada  masa  Nabi  masih  hidup,
dengan  keyakinan  yang  luarbiasa  bahwa  itu  adalah kalam
Allah. Oleh karena  itu  setiap  ada  perselisihan  mengenai
isinya,  untuk  menghindarkan  adanya  perselisihan demikian
itu, selalu dibawa kepada Nabi sendiri. Dalam  hal  ini  ada
beberapa  contoh  pada  kita:  'Amr bin Mas'ud dan Ubayy bin
Ka'b membawa hal itu kepada Nabi. Sesudah Nabi  wafat,  bila
ada  perselisihan,  selalu  kembali  kepada  teks yang sudah
tertulis  dan  kepada  ingatan  sahabat-sahabat  Nabi   yang
terdekat serta penulis-penulis wahyu."
 
PENGUMPULAN QUR'AN LANGKAH PERTAMA
 
"Sesudah  selesai  menghadapi  peristiwa  Musailima  - dalam
perang Ridda - penyembelihan Yamama telah  menyebabkan  kaum
Muslimin banyak yang mati, di antaranya tidak sedikit mereka
yang telah menghafal Qur'an dengan  baik.  Ketika  itu  Umar
merasa  kuatir  akan  nasib  Qur'an dan teksnya itu; mungkin
nanti akan menimbulkan keragu-raguan orang bila mereka  yang
telah  menyimpannya  dalam  ingatan itu, mengalami suatu hal
lalu meninggal semua. Waktu itulah ia pergi menemui Khalifah
Abu  Bakr  dengan mengatakan: "Saya kuatir sekali pembunuhan
terhadap mereka yang sudah hafal  Qur'an  itu  akan  terjadi
lagi di medan pertempuran lain selain Yamama dan akan banyak
lagi dari mereka  yang  akan  hilang.  Menurut  hemat  saya,
cepat-cepatlah    kita    bertindak   dengan   memerintahkan
pengumpulan Qur'an."
 
"Abu Bakr segera  menyetujui  pendapat  itu.  Dengan  maksud
tersebut  ia  berkata  kepada Zaid bin Thabit, salah seorang
Sekretaris Nabi yang besar: "Engkau pemuda yang  cerdas  dan
saya  tidak  meragukan kau. Engkau adalah penulis wahyu pada
Rasulullah  s.a.w.  dan  kau  mengikuti  Qur'an  itu;   maka
sekarang kumpulkanlah."
 
"Oleh  karena  pekerjaan ini terasa tiba-tiba sekali di luar
dugaan, mula-mula Zaid gelisah sekali.  Ia  masih  meragukan
gunanya melakukan hal itu dan tidak pula menyuruh orang lain
melakukannya. Akan tetapi akhirnya  ia  mengalah  juga  pada
kehendak  Abu  Bakr dan Umar yang begitu mendesak. Dia mulai
berusaha  sungguh-sungguh   mengumpulkan   surah-surah   dan
bagian-bagiannya  dari segenap penjuru, sampai dapat juga ia
mengumpulkan yang tadinya di atas daun-daunan, di atas  batu
putih,   dan   yang  dihafal  orang.  Setengahnya  ada  yang
menambahkan, bahwa dia juga mengumpulkannya  dari  yang  ada
pada  lembaran-lembaran,  tulang-tulang  bahu dan rusuk unta
dan kambing. Usaha Zaid ini mendapat sukses."
 
"Ia melakukan itu selama dua atau tiga tahun  terus-menerus,
mengumpulkan   semua   bahan-bahan  serta  menyusun  kembali
seperti yang ada sekarang ini, atau seperti  yang  dilakukan
Zaid  sendiri membaca Qur'an itu di depan Muhammad, demikian
orang mengatakan. Sesudah  naskah  pertama  lengkap  adanya,
oleh  Umar  itu  dipercayakan  penyimpanannya kepada Hafsha,
puterinya dan isteri Nabi. Kitab yang  sudah  dihimpun  oleh
Zaid  ini  tetap  berlaku selama khilafat Umar, sebagai teks
yang otentik dan sah.
 
"Tetapi kemudian terjadi perselisihan mengenai cara membaca,
yang timbul baik karena perbedaan naskah Zaid yang tadi atau
karena perubahan yang dimasukkan ke dalam naskah-naskah  itu
yang  disalin  dari  naskah  Zaid.  Dunia Islam cemas sekali
melihat hal ini. Wahyu  yang  didatangkan  dari  langit  itu
"satu,"  lalu  dimanakah sekarang kesatuannya? Hudhaifa yang
pernah berjuang di Armenia dan di Azerbaijan,  juga  melihat
adanya perbedaan Qur'an orang Suria dengan orang Irak."
 
MUSHAF USMAN
 
"Karena  banyaknya  dan  jauhnya  perbedaan  itu,  ia merasa
gelisah sekali. Ketika itu ia lalu meminta agar Usman  turun
tangan.  "Supaya  jangan  ada  lagi orang berselisih tentang
kitab  mereka  sendiri  seperti   orang-orang   Yahudi   dan
Nasrani."   Khalifahpun  dapat  menerima  saran  itu.  Untuk
menghindarkan bahaya, sekali lagi Zaid bin  Thabit  dimintai
bantuannya  dengan  diperkuat  oleh tiga orang dari Quraisy.
Naskah pertama yang ada di tangan Hafsha  lalu  dibawa,  dan
cara  membaca yang berbeda-beda dari seluruh persekemakmuran
Islam itupun dikemukakan, lalu  semuanya  diperiksa  kembali
dengan  pengamatan  yang  luarbiasa,  untuk  kali  terakhir.
Kalaupun Zaid berselisih juga dengan ketiga sahabatnya  dari
Quraisy  itu,  ia  lebih condong pada suara mereka mengingat
turunnya wahyu itu menurut logat Quraisy, meskipun dikatakan
wahyu   itu   diturunkan   dengan  tujuh  dialek  Arab  yang
bermacam-macam."
 
"Selesai dihimpun, naskah-naskah  menurut  Qur'an  ini  lalu
dikirimkan  ke seluruh kota persekemakmuran. Yang selebihnya
naskah-naskah itu dikumpulkan lagi  atas  perintah  Khalifah
lalu dibakar. Sedang naskah yang pertama dikembalikan kepada
Hafsha."
 
ERSATUAN ISLAM ZAMAN USMAN
 
"Maka yang sampai kepada kita adalah Mushhaf  Usman.  Begitu
cermat  pemeliharaan  atas Qur'an itu, sehingga hampir tidak
kita dapati -bahkan  memang  tidak  kita  dapati-  perbedaan
apapun dari naskah-naskah yang tak terbilang banyaknya, yang
tersebar ke seluruh  penjuru  dunia  Islam  yang  luas  itu.
Sekalipun akibat terbunuhnya Usman sendiri - seperempat abad
kemudian sesudah Muhammad wafat - telah  menimbulkan  adanya
kelompok-kelompok  yang marah dan memberontak sehingga dapat
menggoncangkan kesatuan dunia Islam -  dan  memang  demikian
adanya  - namun Qur'an yang satu, itu juga yang selalu tetap
menjadi Qur'an bagi semuanya. Demikianlah, Islam yang  hanya
mengenal satu kitab itu ialah bukti yang nyata sekali, bahwa
apa yang ada di depan kita sekarang ini  tidak  lain  adalah
teks  yang  telah  dihimpun  atas perintah Usman yang malang
itu.
 
"Agaknya di seluruh dunia ini tak ada sebuah kitabpun selain
Qur'an  yang  sampai  duabelas  abad  lamanya  tetap lengkap
dengan teks yang begitu murni  dan  cermatnya.  Adanya  cara
membaca  yang  berbeda-beda  itu sedikit sekali untuk sampai
menimbulkan keheranan. Perbedaan ini kebanyakannya  terbatas
hanya  pada  cara  mengucapkan  huruf  hidup  saja atau pada
tempat-tempat tanda berhenti, yang sebenarnya  timbul  hanya
belakangan  saja  dalam  sejarah,  yang  tak ada hubungannya
dengan Mushhaf Usman."
 
"Sekarang, sesudah ternyata  bahwa  Qur'an  yang  kita  baca
ialah  teks  Mushhaf  Usman yang tidak berubah-ubah, baiklah
kita  bahas  lagi:  Adakah  teks  ini  yang  memang   persis
bentuknya  seperti  yang  dihimpun  oleh Zaid sesudah adanya
persetujuan menghilangkan segi perbedaan dalam cara  membaca
yang  hanya  sedikit sekali jumlahnya dan tidak pula penting
itu? Segala pembuktian yang ada pada kita meyakinkan sekali,
bahwa  memang  demikian.  Tidak ada dalam berita-berita lama
atau  yang  patut  dipercaya  yang  melemparkan   kesangsian
terhadap  Usman  sedikitpun,  bahwa  dia  bermaksud mengubah
Qur'an guna memperkuat tujuannya. Memang benar, bahwa Syi'ah
kemudian  menuduh  bahwa  dia mengabaikan beberapa ayat yang
mengagungkan Ali. Akan tetapi dugaan ini tak dapat  diterima
akal.  Ketika  Mushhaf ini diakui, antara pihak Umawi dengan
pihak Alawi  (golongan  Mu'awiya  dan  golongan  Ali)  belum
terjadi  sesuatu  perselisihan faham. Bahkan persatuan Islam
masa  itu   benar-benar   kuat   tanpa   ada   bahaya   yang
mengancamnya.  Di  samping  itu  juga  Ali  belum melukiskan
tuntutannya dalam bentuknya yang lengkap.  Jadi  tak  adalah
maksud-maksud   tertentu  yang  akan  membuat  Usman  sampai
melakukan pelanggaran yang akan  sangat  dibenci  oleh  kaum
Muslimin  itu.  Orang-orang  yang  memahami  dan hafal benar
Qur'an  seperti  yang  mereka  dengar  sendiri  waktu   Nabi
membacanya  mereka  masih  hidup  tatkala Usman mengumpulkan
Mushhaf itu. Andaikata ayat-ayat yang mengagungkan  Ali  itu
sudah   ada,   tentu   terdapat   juga   teksnya  di  tangan
pengikut-pengikutnya yang banyak itu. Dua  alasan  ini  saja
sudah  cukup untuk menghapus setiap usaha guna menghilangkan
ayat-ayat  itu.  Lagi  pula,  pengikut-pengikut  Ali   sudah
berdiri  sendiri sesudah Usman wafat, lalu mereka mengangkat
Ali sebagai Pengganti."
 
"Dapatkah diterima akal - pada waktu kemudian  mereka  sudah
memegang kekuasaan - bahwa mereka akan sudi menerima Qur 'an
yang sudah terpotong-potong, dan  terpotong  yang  disengaja
pula untuk menghilangkan tujuan pemimpin mereka?! Sungguhpun
begitu mereka tetap membaca Qur'an  yang  juga  dibaca  oleh
lawan-lawan mereka. Tak ada bayangan sedikitpun bahwa mereka
akan menentangnya. Bahkan Ali sendiripun telah memerintahkan
supaya  menyebarkan naskah itu sebanyak-banyaknya. Malah ada
diberitakan, bahwa ada beberapa di antaranya yang ditulisnya
dengan tangannya sendiri."
 
"Memang  benar  bahwa  para  pemberontak  itu  telah membuat
pangkal pemberontakan mereka karena Usman telah mengumpulkan
Qur'an  lalu  memerintahkan  supaya semua naskah dimusnahkan
selain Mushhaf Usman. Jadi tantangan mereka ditujukan kepada
langkah-langkah  Usman  dalam  hal  itu  saja,  yang menurut
anggapan mereka tidak boleh dilakukan. Tetapi di  balik  itu
tidak  seorangpun yang menunjukkan adanya usaha mau mengubah
atau menukar isi Qur'an. Tuduhan  demikian  pada  waktu  itu
adalah suatu usaha perusakan terang-terangan. Hanya kemudian
golongan Syi'ah saja yang mengatakan itu  untuk  kepentingan
mereka sendiri."
 
"Sekarang kita dapat mengambil kesimpulan dengan meyakinkan,
bahwa Mushhaf Usman itu tetap dalam  bentuknya  yang  persis
seperti  yang  dihimpun  oleh  Zaid bin Thabit, dengan lebih
disesuaikan bahan-bahannya yang sudah ada lebih dulu  dengan
dialek Quraisy. Kemudian menyisihkan jauh-jauh bacaan-bacaan
selebihnya yang pada waktu itu terpencar-pencar  di  seluruh
daerah itu."
 
MUSHAF USMAN CERMAT DAN LENGKAP
 
"Tetapi  sungguhpun begitu masih ada suatu soal penting lain
yang  terpampang  di  depan   kita,   yakni:   adakah   yang
dikumpulkan  oleh  Zaid itu merupakan bentuk yang sebenarnya
dan  lengkap  seperti  yang  diwahyukan   kepada   Muhammad?
Pertimbangan-pertimbangan  di  bawah  ini  cukup  memberikan
keyakinan, bahwa itu adalah susunan  sebenarnya  yang  telah
selengkapnya dicapai waktu itu:"
 
"Pertama  -  Pengumpulan pertama selesai di bawah pengawasan
Abu Bakr. Sedang Abu Bakr seorang  sahabat  yang  jujur  dan
setia kepada Muhammad. Juga dia adalah orang yang sepenuhnya
beriman pada kesucian sumber Qur'an, orang yang  hubungannya
begitu  erat  sekali dengan Nabi selama waktu duapuluh tahun
terakhir dalam hayatnya, serta  kelakuannya  dalam  khilafat
dengan cara yang begitu sederhana, bijaksana dan bersih dari
gejala ambisi, sehingga baginya  memang  tak  adalah  tempat
buat  mencari  kepentingan lain. Ia beriman sekali bahwa apa
yang diwahyukan kepada kawannya itu adalah wahyu dari Allah,
sehingga  tujuan utamanya ialah memelihara pengumpulan wahyu
itu semua dalam keadaan murni sepenuhnya."
 
Pernyataan semacam ini berlaku juga terhadap Umar yang sudah
menyelesaikan   pengumpulan   itu   pada  masa  khilafatnya.
Pernyataan semacam ini juga yang berlaku terhadap semua kaum
Muslimin  waktu  itu,  tak ada perbedaan antara para penulis
yang membantu  melakukan  pengumpulan  itu,  dengan  seorang
mu'min  biasa  yang  miskin, yang memiliki wahyu tertulis di
atas tulang-tulang atau daun-daunan, lalu  membawanya  semua
kepada    Zaid.    Semangat   mereka   semua   sama,   ingin
memperlihatkan kalimat-kalimat dan  kata-kata  seperti  yang
dibacakan  oleh  Nabi,  bahwa itu adalah risalah dari Tuhan.
Keinginan  mereka  hendak  memelihara  kemurnian  itu  sudah
menjadi  perasaan  semua  orang,  sebab tak ada sesuatu yang
lebih dalam tertanam dalam jiwa mereka  seperti  rasa  kudus
yang  agung  itu,  yang  sudah  mereka  percayai  sepenuhnya
sebagai    firman    Allah.    Dalam     Qur'an     terdapat
peringatan-peringatan   bagi   barangsiapa  yang  mengadakan
kebohongan  atas  Allah  atau  menyembunyikan  sesuatu  dari
wahyuNya.  Kita  tidak  akan dapat menerima, bahwa pada kaum
Muslimin yang  mula-mula  dengan  semangat  mereka  terhadap
agama  yang  begitu  rupa mereka sucikan itu, akan terlintas
pikiran yang akan membawa akibat  begitu  jauh  membelakangi
iman."
 
"Kedua  -  Pengumpulan tersebut selesai selama dua atau tiga
tahun sesudah Muhammad wafat. Kita  sudah  melihat  beberapa
orang  pengikutnya,  yang  sudah  hafal  wahyu  itu  di luar
kepala, dan setiap Muslim sudah hafal sebagian,  juga  sudah
ada   serombongan   ahli-ahli   Qur'an  yang  ditunjuk  oleh
pemerintah dan dikirim ke segenap penjuru daerah Islam  guna
melaksanakan  upacara-upacara dan mengajar orang memperdalam
agama. Dari mereka semua itu terjalinlah suatu  mata  rantai
penghubung  antara wahyu yang dibaca Muhammad pada waktu itu
dengan yang dikumpulkan oleh Zaid. Kaum Muslimin bukan  saja
bermaksud jujur dalam mengumpulkan Qur'an dalam satu Mushhaf
itu,  tapi  juga  mempunyai  segala  fasilitas  yang   dapat
menjamin    terlaksananya    maksud    tersebut,    menjamin
terlaksananya segala yang sudah terkumpul dalam  kitab  itu,
yang ada di tangan mereka sesudah dengan teliti dan sempurna
dikumpulkan."
 
"Ketiga - Juga  kita  mempunyai  jaminan  yang  lebih  dapat
dipercaya  tentang  ketelitian dan kelengkapannya itu, yakni
bagian-bagian Qur'an yang tertulis,  yang  sudah  ada  sejak
masa  Muhammad  masih  hidup,  dan  yang  sudah tentu jumlah
naskahnyapun sudah banyak sebelum  pengumpulan  Qur'an  itu.
Naskah-naskah  demikian  ini  kebanyakan sudah ada di tangan
mereka semua yang dapat membaca. Kita mengetahui, bahwa  apa
yang  dikumpulkan Zaid itu sudah beredar di tangan orang dan
langsung dibaca sesudah pengumpulannya.  Maka  logis  sekali
kita mengambil kesimpulan, bahwa semua yang terkandung dalam
bagian-bagian itu, sudah tercakup belaka.  Oleh  karena  itu
keputusan mereka semua sudah tepat pada tempatnya. Tidak ada
suatu sumber yang sampai kepada kita yang menyebutkan, bahwa
para  penghimpun  itu  telah melalaikan sesuatu bagian, atau
sesuatu ayat, atau kata-kata, ataupun apa yang  terdapat  di
dalamnya  itu,  berbeda  dengan  yang ada dalam Mushhaf yang
sudah dikumpulkan itu. Kalau yang demikian ini  memang  ada,
maka tidak bisa tidak tentu terlihat juga, dan tentu dicatat
pula dalam dokumen-dokumen lama yang sangat cermat itu;  tak
ada sesuatu yang diabaikan sekalipun yang kurang penting."
 
"Keempat   -   Isi  dan  susunan  Qur'an  itu  jelas  sekali
menunjukkan  cermatnya   pengumpulan.   Bagian-bagian   yang
bermacam-macarn  disusun  satu  sama  lain  secara sederhana
tanpa dipaksa-paksa atau dibuat-buat."
 
"Tak ada bekas tangan yang mencoba  mau  mengubah  atau  mau
memperlihatkan  keahliannya  sendiri. Itu menunjukkan adanya
iman dan kejujuran sipenghimpun dalam  menjalankan  tugasnya
itu. Ia tidak berani lebih daripada mengambil ayat-ayat suci
itu seperti apa adanya,  lalu  meletakkannya  yang  satu  di
samping yang lain."
 
"Jadi  kesimpulan yang dapat kita sebutkan dengan meyakinkan
sekali ialah, bahwa Mushhaf Zaid dan Usman itu  bukan  hanya
hasil  ketelitian  saja,  bahkan - seperti beberapa kejadian
menunjukkan - adalah juga lengkap, dan  bahwa  penghimpunnya
tidak bermaksud mengabaikan apapun dari wahyu itu. Juga kita
dapat meyakinkan, berdasarkan bukti-bukti yang  kuat,  bahwa
setiap  ayat  dari  Qur'an  itu, memang sangat teliti sekali
dicocokkan seperti yang dibaca oleh Muhammad."
 
Panjang juga kita mengutip kalimat-kalimat Sir William  Muir
seperti  yang  disebutkan  dalam  kata pengantar The Life of
Mohammad (p.xiv-xxix) itu. Dengan apa yang sudah kita  kutip
itu  tidak  perlu  lagi  rasanya  kita  menyebutkan  tulisan
Lammens atau  Von  Hammer  dan  Orientalis  lain  yang  sama
sependapat.   Secara   positif   mereka  memastikan  tentang
persisnya Qur'an yang kita baca sekarang,  serta  menegaskan
bahwa  semua  yang  dibaca  oleh  Muhammad adalah wahyu yang
benar  dan  sempurna  diterima  dari  Tuhan.  Kalaupun   ada
sebagian   kecil   kaum   Orientalis  berpendapat  lain  dan
beranggapan bahwa Qur'an sudah mengalami  perubahan,  dengan
tidak menghiraukan alasan-alasan logis yang dikemukakan Muir
dan sebagian besar  Orientalis,  yang  telah  mengutip  dari
sejarah  Islam  dan  dari  sarjana-sarjana  Islam,  maka itu
adalah suatu dakwaan yang hanya didorong  oleh  rasa  dengki
saja terhadap Islam dan terhadap Nabi.
 
Betapapun   pandainya   tukang-tukang   tuduh  itu  menyusun
tuduhannya,  namun  mereka  tidak  dapat  meniadakan   hasil
penyelidikan  ilmiah  yang  murni. Dengan caranya itu mereka
takkan dapat menipu kaum Muslimin, kecuali  beberapa  pemuda
yang  masih  beranggapan  bahwa  penyelidikan yang bebas itu
mengharuskan mereka mengingkari masa lampau mereka  sendiri,
memalingkan  muka  dari kebenaran karena sudah terbujuk oleh
kepalsuan yang indah-indah. Mereka percaya kepada semua yang
mengecam   masa   lampau  sekalipun  pengecamnya  itu  tidak
mempunyai dasar kebenaran ilmiah dan sejarah. 


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Lompatan Belalang

Seekor belalang telah lama terkurung dalam sebuah kotak. Suatu hari ia berhasil keluar dari kotak yang mengurungnya tersebut. Dengan gem...